Selasa, 27 Januari 2015

Dunia PR : Pekerjaan Rumah, Pekerjaan Rusuh.

Siapa yang gak pernah dapet PR angkat tangan yang tinggi! Mmm..pasti gak ada dong ya.. Sebagai pelajar Indonesia yang terdaftar di departemen pendidikan dan kebudayaan gak mungkin rasanya kalian-kalian yang mengaku kece ini gak pernah dapet PR.. PR itu sepenting sarapan, sepenting istirahat siang, sepenting kamu di hatiku… Eyaaaak… Dari mana asal mulanya PR tidak pernah ada sejarah yang mengulasnya, tapi kan ini bukan buku sejarah jadi gak penting juga kita bahasa kapan PR muncul, apakah setelah perang dunia atau setelah perang diponegoro. Lalu pertanyaan berikutnya, kapankah perang Diponegoro? Oh apa, ini mulai gak fokus ya pembahasannya. Baiklah, buku ini akan mengupas abis cerita seru tentang dunia sekolah para remaja dengan keseruannya menghadapi PR.. Simak baik-baik ya, bisa jadi ini cerita pernah kalian alami… Sebut saja namanya Budi. Tapi nama Budi terlalu mainstream dan kuno. Oke kita ganti, sebut saja namanya Agus. Mm, tapi nama itu cocoknya buat nama Pak Guru. Lalu siapa ya nama yang cocok sama anak jaman sekarang? Nah, sebut saja namanya Rere. Kerenkan buat sebuah nama samaran? Rere ini cowo paling cute di sebuah sekolah SMP. Usia 14 tahunnya memancarkan aura karismatik yang dapat memikat semua wanita muda. Alkisah, Rere baru pulang sekolah jam 5 sore, setelah dari jam 7 pagi dia menuntut ilmu. Memang jam sekolah Rere ini mengalahkan jam kerja pramuniaga di toko-toko baju di Jakarta yang hanya berdiri 8 jam. Ambil saja hikmahnya kalau Rere kelak lulus ia dapat menjaga toko seharian.. sebagai pemilik kok. Hehe. Rasanya pulang jam 5 sore itu pasti melelahkan, apalagi kalau sebelumnya di sekolah kegiatan menumpuk seabrek kaya cucian kotor. Yang ada di pikiran Rere hanya rebahan dan selonjoran. Saat baru saja meletakan tas di atas kasur, kaki diangkat ke atas kasur terdengar teriakan dari luar kamar. “Re, sudah makan?” suara bunda. “Sudah, Bun.” Jawab Rere sambil membuka kancing baju sekolahnya yang siap dilemparkannya ke tempat cucian di depan kamar. Ia bangkit dari kasur beranjak melangkahkan kaki ke pintu. Ia kaget saat bunda lebih dulu membuka pintunya. “Bener gak mau makan?” “Engga, Bun. Mau istirahat dulu.” Jawab Rere sambil berhadapan dengan bunda di depan pintu. “Ada PR?” Tanya bunda singkat. Rere diam memikirkan jawaban. Ya mana mungkin juga gak ada PR sih bunda, tapi pasti nanti langsung disuruh kerjain sama bunda. Kalau udah urusan PR bunda suka lupa kalo anaknya ini manusia biasa yang lebih suka main game dari pada bikin PR. “Sejak kapan sih, Bun, anak sekolah gak dapet PR?” Jawab Rere dengan nada datar. “Tapi kan ngerjainnya gak mesti sekarang banget kan, Bun?” Kira-kira begitulah percakapan sehari-hari yang dihadapi Rere dengan bunda, juga mungkin terjadi dengan kalian semua. Dan semua percakapan itu lenyap begitu saja ditelan oleh waktu. Saat malam menjelang, mata Rere sudah bersinar redup hingga tak sanggup lagi membuat PR. Pikirnya hanya malam ini harus tidur cepat supaya besok pagi bisa bangun pagi, cepat sampai sekolah dan liat PR temen. Yeah. Mari kita tidur. Tunggu ada yang lupa. Rere mengambil handphonenya untuk menulis sesuatu di twitter pada akun twitternya yang bernama @rere_fere. Twit pertama. Ini PR apa kasih Ibu, tak terhingga sepanjang masa. Twit kedua : Exit. Kemudian Rere mengangkat tangan, baca doa, good night all. Besok pagi satu jam sebelum bel berbunyi Rere sudah duduk di kelas menanti Ciput alias Putra yang sudah pasti tuntas mengerjakan PR. Rere tak sendiri, beberapa teman sudah ikut berkumpul menunggu kehadiran pahlawan tanpa tanda jasa yang sudah dinanti untuk membagikan PRnya, Saat-saat genting seperti ini langkah kaki Ciput di depan gerbang saja sudah bisa terdengar. Betapa penting kehadiran Ciput untuk rakyat kelas pagi ini. Saat kaki Ciput masuk ke kelas kemudian semua bersorak menyambutnya bagikan pahlawan pulang perang. Semua berkumpul di satu titik.Satu buku diletakan di atas meja, yang lain dengan berbagai gaya berusaha menyalin. Ada yang duduk di kursi, ada yang bersimpuh di lantai da nada pula yang antri menunggu giliran dengan tenang. Jika kloter pertama yang berisi 5 oarang ini berhasil menyalin maka selanjutnya tulisan mereka siap disebar ke anak-anak lain sehingga penyebarannya persis kaya Multilevel Marketing. 15 menit sebelum bel semua tugas sudah selesai. Saat Pak Agus masuk, membuka kelas, berdoa kemudian menanyakan apakah sudah menyelesaikan PR maka satu kelas dengan kompak akan bilang “Sudah, Pak”. Dengan satu anggukan Pak Agus akan bilang “Bagus.” Kemudian pelajaran dilanjutkan ke materi selanjutnya. PR dikumpulkan lalu diberi nilai dan dibagikan kembali. Apakah Pak Agus tau anak-anak mengerjakan dari mana? Bisa jadi tahu, bisa jadi tidak. Setiap guru punya cara sendiri dalam menyikapi PR. Drama PR ini sudah terjadi sejak saya duduk di bangku SMP. Bahwa PR yang tujuannya adalah untuk melatih anak mengerjakan soal-soal agar justru jadi drama yang rusuh membuat kehebohan kelas di pagi hari. Banyak faktor yang menghambat anak-anak tak mau mengerjakan, yang pasti karena faktor kelelahan setelah seharian menghabiskan waktu di sekolah. Beberapa sekolah yang saya kunjungi memiliki metode yang berbeda. Sekolah yang bersikeras memberikan PR tentu berpendapat bahwa anak didik harus diberikan aktivitas positif di rumah, anak harus melatih diri mereka di rumah dengan banyak berlatih soal. Lain sekolah tentu lain metode. Ada sekolah yang tidak memberikan PR kepada anak-anak dengan alasan anak sudah lelah, keinginan berlatih seharusnya muncul dari anak, jika anak ingin berlatih soal anak bisa menanyakan semuanya pada guru yang siap membantu. Atau ada juga PR tanpa batas waktu, artinya anak boleh mengumpulkan kapan saja sesiap mereka. Juga tak ada aturan seluruh PR harus dikerjakan, kerjakanlah yang anak mampu dan suka. Hasilnya, anak-anak megerjakan tanpa beban. Jika ia merasa bisa ia akan mengerjakan, jika tak bisa ia akan bertanya. Untuk apa mencontek, guru juga tak memberi hukuman jika tak bisa. Bahagianya sekolah seperti ini ya.. tak ada lagi drama pekerjaan rumah pekerjaan rusuh.